Antara AI, Generasi Muda, dan Masa Depan

Antara AI, Generasi Muda, dan Masa Depan

Antara AI, Generasi Muda, dan Masa Depan

Jakarta: Membicarakan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) tak lagi seperti membayangkan masa depan yang penuh dengan unsur futuristik.
 
Teknologi ini telah menjadi elemen pendukung banyak perusahaan atau bisnis yang sudah menyadari digitalisasi. Implementasinya juga semakin luas sekaligus kompleks, sehingga menuntut sumber daya manusia yang memiliki kualifikasi atau kemampuan lebih baik.
 
Sumber Daya Manusia sebagai aspek utama dalam mengadopsi teknologi, terutama kecerdasan buatan. Tidak hanya punya kemampuan atau keterampilan yang tepat, seseorang juga harus bisa menggunakan teknologi sebagai hal yang bisa membuat kehidupan lebih baik.





Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Oleh karena itu, pengenalan AI sejak usia muda punya peran besar, dan tak terbatas pada peningkatan keterampilan dalam penggunaannya. 
 

Shweta Khurana, Senior Director – Government Partnerships & Initiatives Group, Asia Pacific & Japan, Intel mengatakan bahwa Intel melihat pentingnya memperkenalkan AI sejak usia sekolah.
 
Mereka meluncurkan beberapa program yang menggandeng berbagai pihak, termasuk pemerintahan. Salah satunya adalah AI 4 Youth. “Tujuan programnya adalah memberikan pengenalan dan pemahaman terhadap kecerdasan buatan di usia sekolah,” ungkap Shweta.
 
Bersama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, ia menyebut setidaknya sudah ada 6 ribu siswa yang berpartisipasi dalam program ini sejak pertama kali digelar. Lewat AI 4 Youth, Intel memberikan pengajaran terkait wawasan mengenai manfaat AI dan bagaimana mengaplikasikannya di dunia nyata.
 
Seperti sekolah, program ini juga memiliki kurikulum disertai mentor. Pandemi Covid-19 telah menjadi sebuah disrupsi nyata, terlepas dari perkembangan teknologi yang sebenarnya menjadi elemen disrupsi dalam berbagai aspek kehidupan. “Pandemi membuat kita lebih ulet dan mengubah cara berpikir.”
 
Pandemi dinilai membuat efek disrupsi lebih cepat, dan ini juga mengubah cara belajar siswa, dari tatap muka menjadi secara virtual. “Tetap ada mentor, bukan siswa belajar masing-masing,” kata Shweta.
 
Selain keterampilan, program Intel AI 4 Youth juga mengenalkan kemampuan sosial, tak lupa dengan etika dan bias terhadap kecerdasan buatan. “Belajar bagaimana mempercayai teknologi tersebut,” lanjutnya. 
 
Selain kurikulum, program ini juga menyediakan sertifikasi untuk semua peserta. Bagi mereka yang berhasil menciptakan sebuah karya, akan mendapatkan sertifikat pencapaian.
 
Sementara siswa yang belum berhasil menciptakan sebuah proyek atau hasil karya, tetap akan mendapatkan sertifikat keikutsertaan. Keberhasilan program ini juga tidak terlepas dari peran pemerintah.
 
Intel juga bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam program Digital Talent Scholarship. Lewat program AI 4 Workforce, mereka melatih dan menyediakan pengetahuan untuk mereka yang akan masuk ke dunia kerja. Sesuai dengan DTS, program ini bebas biaya dan siapapun bisa berpartisipasi.  
 
Shweta melihat beberapa Kementerian di Tanah Air telah berubah dalam melihat dan menyambut teknologi. “Ada transformasi di dalam sistem pendidikan. Kini lebih terbuka dan antusias dalam menyambut ilmu pengetahuan untuk masa depan,” ujarnya.
 
Ia juga menekankan bahwa baik implementasi dan meningkatkan keterampilan SDM terhadap pemanfaatan AI perlu proses. Proses ini harus didukung oleh akses teknologi dan infrastruktur, yang seringkali menjadi tantangan dalam menerapkan kecerdasan buatan.
 
Bukan tanpa rencana, pemerintah juga telah mencanangkan Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial tahun 2020-2045 melalui Kemendikbud Ristek dan BRIN. Fokusnya adalah inovasi pada sektor kesehatan, reformasi birokrasi, riset dan pendidikan, pangan, mobilitas, dan smart city.
 
Berdasarkan Oxford Insights Study: Government AI Readiness Index, Indonesia berada di peringkat ke-7 terkait kesiapan adopsi AI, menyusul Malaysia dan Taiwan. Secara global dari studi yang sama, Indonesia berada di peringkat ke-47.
 
Peran AI yang dahulunya hanya bersifat sebagai pendukung, kini bisa terlibat lebih jauh dalam berbagai aspek hidup manusia. Shweta juga mengingatkan bahwa AI dan manusia sebenarnya punya hubungan erat.
 
“Kecerdasan buatan sudah ada sejak puluhan tahun. Hubungan antara manusia dan mesin adalah salah satu hal penting yang cukup menarik. Semakin canggih AI, sejatinya bisa membuat manusia semakin humanis,” pungkasnya.
 

(MMI)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.

error: Content is protected !!
Exit mobile version