Cara Hitung dan Siapa yang Dikenakan PPH 21

Cara Hitung dan Siapa yang Dikenakan PPH 21

harianfakta.com – Pajak Penghasilan Pasal 21 ( PPh 21 ) merupakan jenis pajak yang dikenakan bagi masyarakat yang memiliki penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain yang diterima oleh pegawai, bukan pegawai, mantan pegawai, penerima pesangon dan lain sebagainya.

Meski diatur oleh DJP, akan tetapi pada praktiknya perhitungan PPh 21 disesuaikan perusahaannya sendiri dengan mempertimbangkan tunjangan pajak atau gaji bersih yang diterima karyawannya.

Ada 3 metode perhitungan PPh 21 yang paling umum, yaitu:

Metode Gross (Gaji Kotor Tanpa Tunjangan Pajak)

Metode gross diterapkan bagi pegawai atau penerima penghasilan yang menanggung PPh 21 terutangnya sendiri. Ini berarti gaji pegawai tersebut belum dipotong PPh 21 .

Metode Gross-Up (Gaji Bersih dengan Tunjangan Pajak)

Metode gross-up diterapkan bagi karyawan atau penerima penghasilan yang diberikan tunjangan pajak (gajinya dinaikkan terlebih dahulu) sebesar pajak yang dipotong.

Metode Net (Gaji Bersih dengan Pajak Ditanggung Perusahaan)

Metode net diterapkan bagi karyawan atau penerima penghasilan yang mendapatkan gaji bersih dengan pajak yang ditanggung perusahaan.

Karyawan tetap adalah karyawan yang menerima penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur atau pegawai yang berstatus kontrak dalam jangka waktu yang telah ditentukan, yang menerima penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur.

Berikut ini adalah contoh-contoh penghitungan PPh 21 untuk karyawan atau pegawai tetap dengan memperhitungkan PTKP.

“Alya adalah karyawati pada perusahaan PT. Mental Aman dengan status menikah dan mempunyai tiga anak. Suami Alya merupakan pegawai di perusahaan PT Hidup Bahagia. Alya menerima gaji Rp7.000.000 per bulan.

PT. Mental Aman mengikuti program pensiun dan BPJS Kesehatan. Perusahaan membayarkan iuran pensiun dari BPJS Ketenagakerjaan sebesar 1 persen dari perhitungan gaji, yakni senilai Rp70.000 per bulan.

Di samping itu perusahaan membayarkan iuran Jaminan Hari Tua (JHT) karyawannya setiap bulan sebesar 3,70 persen dari gaji, sedangkan Alya membayar iuran (JHT) setiap bulan sebesar 2,00 persen dari gaji.

Premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JK) dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing sebesar 0,24 persen dan 0,3 persen dari gaji. Pada bulan Mei 2020, di samping menerima pembayaran gaji, Alya juga menerima uang lembur (overtime) senilai Rp2.000.000.”

Maka hasil perhitungannya adalah sebagai berikut:

Gaji Pokok Rp7.000.000(i) Tunjangan Lainnya (jika ada) Rp2.000.000(ii) JKK 0,24 persen Rp16.800JK 0,3 persen Rp21.000Penghasilan Bruto Rp9.037.800

Pengurangan:

1. (iii) Biaya jabatan 5 persen x Rp9.037.800 = Rp451.8902. Iuran Jaminan Hari Tua (JHT), 2 persen dari gaji pokok Rp140.0003. (iv) Jaminan Pensiun (JP), 1 persen dari gaji pokok Rp70.000

Total: Rp661.890

Penghasilan neto (bersih) sebulan Rp8.375.910

(v) Penghasilan neto setahun 12 x Rp8.375.910 = Rp100.510.920

(vi) PTKP (Rp54.000.000)

Penghasilan neto setahun – PTKP = Penghasilan Kena Pajak Setahun

Rp100.510.920 – Rp54.000.000 = Rp46.510.920

Penghasilan Kena Pajak Setahun Rp46.510.920

(vii) Pembulatan ke bawah Rp46.510.000

PPh Terutang 5 persen x Rp46.510.920 = Rp2.325.500

PPh Pasal 21 Bulan Mei = Rp2.325.500/12 = Rp193.792

Ilustrasi di atas berlaku bagi wajib pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Sementara, bagi wajib pajak yang tidak memiliki NPWP, akan dikalikan 120 persen, sehingga PPh Pasal 21 Bulan Mei menjadi Rp193.792 x 120 persen = Rp232.550

Cara menghitung PPh 21 karyawan atau pegawai tetap yang menerima tunjangan pajak (gross up) dari perusahaan tempatnya bekerja adalah dengan memperlakukan tunjangan pajak sebagai penghasilan pegawai dan ditambahkan pada penghasilan yang diterimanya.

Contoh Perhitungan PPh 21 secara manual untuk karyawan yang menerima tunjangan pajak adalah sebagai berikut:

Farhan bekerja pada PT Bahagia Selalu. Status-nya belum menikah dan tidak mempunyai tanggungan dengan gaji bersih senilai Rp7.500.000 sebulan. Perusahaan tempatnya bekerja memberikan tunjangan pajak penuh kepada Farhan sejumlah Rp35.167. Sementara, iuran pensiun yang dibayar Farhan adalah Rp75.000 sebulan.

Jadi, Contoh Hasil Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 bulan Agustus 2020 bagi Farhan yang tidak menerima penghasilan lain dari PT. ABCD selain gaji adalah:

Gaji Pokok Rp7.500.000

(i) Tunjangan Pajak Rp35.167

Penghasilan bruto (kotor) sebulan Rp7.464.833

Pengurangan

1. (iii) Biaya Jabatan: 5 persen x Rp7.464.833,00 = Rp373.2422. Iuran/Jaminan Hari Tua, 2 persen dari gaji pokok Rp150.0003. (iv) JP (Jaminan Pensiun), 1 persen dari gaji pokok, jika ada Rp75.000Total: Rp598.242

(v) Penghasilan neto (bersih) sebulan Rp866.591

Penghasilan neto setahun 12 x Rp6.866.591= Rp82.399.092

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Rp54.000.000

Penghasilan neto setahun – PTKP = Penghasilan Kena Pajak Setahun

Rp82.399.092 – Rp54.000.000 = Rp28.399.092

(vii) Penghasilan Kena Pajak Setahun Rp28.399.092

(viii) Pembulatan ke bawah Rp28.399.000

PPh Terutang 5 persen x Rp28.399.000 = Rp1.419.950

PPh Pasal 21 Bulan September = Rp1.419.950/12= Rp118.329

Jika wajib pajak tidak memiliki NPWP, maka PPh 21 perlu dikalikan 120 persen, sehingga PPh 21 terutangnya menjadi Rp118.329 x 120 persen = Rp141.995.

Mengutip situs resmi DJP, pegawai tidak tetap tidak berkesinambungan adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh 21 dan/atau PPh 26 sebagai imbalan jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.

Berikut ini adalah cara menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21 pegawai tidak tetap yang menerima penghasilan tidak berkesinambungan:

Arzi adalah pegawai tenaga lepas untuk desain grafis di PT. Bisa Bahagia dengan penghasilan Rp8.000.000.

Besarnya PPh 21 yang terutang adalah:

5 persen x 50 persen x Rp8.000.000,00 = Rp200.000.

Bila Arzi tidak memiliki NPWP maka besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah:

120 persen x 5 persen x 50 persen x Rp8.000.000 = Rp240.000.

Penjelasan:

Karena Arzi bukan pegawai tetap di PT. Bisa Bahagia, maka PKP yang dikenakan sebesar 50 persen dari jumlah penghasilan bruto.

Hal ini sesuai dengan peraturan PER-32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c. Sedangkan tarif PPh Pasal 21 untuk penghasilan tahunan sampai dengan Rp50.000.000 adalah 5 persen.***

error: Content is protected !!
Exit mobile version