Contoh Semangat Enterpreneurship Anak Muda

Contoh Semangat Enterpreneurship Anak Muda

Contoh Semangat Enterpreneurship Anak Muda

harianfakta.com – Hingga saat ini, saya masih merasa minder kepada adik-adik atau anak muda yang bisa jadi seusia anak saya, yang sudah memperlihatkan ‘syahwat’ berwirausaha atau enterpreneurship-nya itu.

Di sini saya hendak menyajikan dua contoh anak muda yang menurut saya, layak dijadikan contoh bagaimana kewirausahaan itu dapat berkembang dan dikembangkan.

Kebetulan saya meyakini, seperti yang saya dengar dari ceramah ustad saya, bahwa nabi itu latar belakangnya adalah pedagang – hal ini dapat menjadi tauladan, tinggal bagaimana cara berdagangnya itu yang harus sangat diperhatikan.

Prinsip-prinsip yang dicontohkan Rasulullah saat berdagang yang paling utamanya itu adalah kejujuran, yang dapat berkorelasi kepada timbulnya rasa dan hubungan saling percaya antara penjual-pembeli (disamping sifat dakwah Nabi yang lain seperti: Siddiq, tabligh, amanah dan fathonah).

Contoh pertama: Mie Jepang-Jepangan

Sebut saja namanya Iwan. Ia adalah anak dari saudara – agak jauh, dimana kepada bapaknya, saya memanggilnya dengan sebutan om. Iwan masih kuliah. Ayahnya adalah pengusaha ayam petelur. Ini yang bercerita ayahnya.

Iwan tiba-tba bilang, kalau dia mau buka usaha.

“Anak muda hari gini kalau nggak usaha, nggak keren, Yah.” Begitu alasan yang dikemukakannya kepada ayahnya.

Si ayah – om saya ini, penasaran ke anaknya, ingin usaha apa dan apa yang perlu dibantu?

Iwan rupanya sudah punya tim – gabungan beberapa orang teman-teman kuliahnya.

“Mau buka usaha mie Ramen, Yah.” katanya menjawab rasa penasaran ayahnya.

Lha, ndilalah, ayahnya ternyata belum tahu Ramen itu apa. Ayahnya malah jadi bingung, karena belum kenal dengan yang namanya Ramen itu.

“Kenapa nggak buka usaha yang gampang aja, mie ayam dan warung kopi misalnya gitu.” tanya si ayah sambil agak bingung.

Akhirnya diajaknyalah si ayah ini ke salah satu restoran Ramen yang terkenal di Kota Bogor.

“Nih Yah yang namanya mie Ramen, banyak macemnya, ayah tinggal pilih mau yang mana.” begitu perkenalan Iwan tentang Ramen ke ayahnya.

“Sok naon wae lah, nu penting rek ngasaan… ieu mah mie jepang-jepangan nya (ayo aja lah, yang mana saja, yang penting saya mau mencoba…. ini sih mie jepang-jepangan ya).” balas ayahnya.

Tapi setelah selesai mencoba mie Jepang-jepangan itu (ayahnya nggak mau menyebut makanan itu dengan namanya yaitu Mie Ramen, tetapi lebih senang menyebutnya dengan ‘mie jepang-jepangan’), ayahnya berkomentar, “leuwih ngeunah mie ayam na mas Selamet ah (lebih enak masakan mie ayamnya mas Selamet ah) – yang telah menjadi langganan mereka sekeluarga sejak dulu itu.

“Ah ayah nih, nggak gaul ah. Mie Ramen lagi tren nih Yah belum ada lagi di sekitar Cemplang (nama daerah di sekitar tempat tinggalnya) ini, lagian, ini aku sama temen-temen lho yang bikin bumbunya, bukan waralaba ataupun bumbu jadi.”

Nggak ada yang bisa dilakukan oleh si Ayah kecuali mendukung keingingan si anak sepenuhnya.

Ayahnya menyumbang biaya untuk pembuatan bangunan – di atas lahan sewa ‘warung mie jepang-jepangan’ itu, sementara si anak dan tim selebihnya.

Sudah berjalan hampir setahun warung itu buka, dan menurut ayahnya, lumayan laris atau banyak pengunjungnya. Sudah pula memperkerjakan 3 (tiga) orang karyawan. Iwan dan teman-temannya tetap kuliah tanpa gangguan (karena itu juga yang menjadi syarat dari orang-tuanya, yaitu, boleh buka usaha, tetapi menyelesaikan kuliah harus tetap menjadi prioritas).

Om saya ini bilang, lumayan usaha anaknya itu, sehari-sehari suka cerita berapa pendapatannya dan bagaimana si anak dimudahkan dengan aplikasi berbayar untuk menjadi ‘kasir’ warung. Jadi, saat ada kuliahpun, bila anak nggak datang full ke warung, ia dapat memantau secara online transaksi yang terjadi di warung itu – walaupun Iwan sedang ada di kampus.

Aplikasi itupun rupanya menyediakan fasilitas semacam statistik warung seperti: dihari apa saja pengunjungnya ramai, di jam berapa, menu apa saja yang paling banyak dipesan, hingga berapa pendapatan perharinya, dapat dilihat secara online, darimanapun. Saat menceritakan itu, terlihat ayahnya penuh rasa bangga.

Good job Iwan.

Contoh kedua: Risol 3 (tiga) ribu banjir mayonais

Ini pengalaman anak murid les bahasa Inggris saya. Saat itu Gigin sedang akan latihan writing. Sedang berdiskusi mencari tema yang akan ditulis, nggak sengaja ngobrol soal aktivitasnya sepulang sekolah.

Kemudian iapun dengan lancar menceritakan kegiatannya itu. Yaitu jualan risol.

Jualan risol? Padahal Gigin belajar di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan Komputer. Bagaimana ceritanya?

Rupanya Gigin, sejak sekitar bulan Agustus tahun 2022 – saat berdiskusi dengan teman-teman dekatnya (tiga orang) merasa perlu untuk punya uang tambahan untuk tambahan uang jajannya. Lagipula, pengalaman buruk mereka saat liburan sebelum mereka berjualan risol itu, liburannya nggak jadi, karena uangnya terpakai untuk keperluan lain. Mereka sangat kecewa.

‘Kita harus punya uang tambahan nih, supaya kita bisa jadi liburan – seperti orang kaya, kita jualan saja, tapi jualan apa?’ Begitu kira-kira asal muasal mereka berjualan risol.

Setelah ngomong sana ngomong sini, tiba-tiba saja terlontar untuk jualan risol. Karena, ibunya temannya Gigin itu ada yang pintar membuat risol dan enak risolnya.

Akhirnya tiga orang berteman ini menghadap ibu salah seorang temannya itu dan mengutarakan niatnya.

Alhamdulillah si ibu itu tidak berkeberatan untuk memberikan resepnya dan bersedia pula untuk membimbing dan mengajari mereka membuat risol itu sampai bisa.

Setelah beberapa kali praktik membuat risol, merekapun pede (percaya diri)untuk memulai berjualan risol.

Setelah dihitung-hitung modal yang harus mereka kumpulkan untuk membuat satu kilogram bahan risol adalah sebesar seratus lima puluh ribu rupiah (Rp. 150.000,-). Satu kilo itu nantinya cukup untuk membuat risol sebanyak 80 buah.

Merekapun patungan seorang lima puluh ribu dan mulai berjualan. Jadwal pembuatan/produksi risol itu seminggu dua kali, setiap hari Senin dan Rabu. Dan harga jual yang mereka tetapkan adalah sebesar tiga ribu rupiah (Rp. 3.000,-) untuk sebuah risolnya.

Teknik penjualanannya yaitu risol mateng dibawa ke sekolah dan mereka tawarkan diwaktu jam istirahat. Kadang-kadang ditawarkan pula ke tetangga-tetangganya dan tetanggapun ikut membeli risol itu.

Menurut Gigin, sejauh ini penjualan lancar, tidak bersisa. Situasi dan kondisi seperti ini menambah semangat mereka untuk terus berjualan.

Usaha mereka tidak selamanya berjalan mulus. Pernah ada kesulitan juga diawal mereka berjualan risol. Kata Gigin di awal mereka berjualan pernah adonan kulitnya tidak jadi, alias gagal, tanpa tahu apa sebabnya, sehingga waktu digoreng, risolnya pecah-pecah, tidak bagus untuk ‘penampilan’ si risol jika ingin dijual. Akhirnya adonannya dibuang dan mereka membuat lagi adonan baru. Cukup melelahkan, tapi itulah ‘harga’ yang harus dibayar. Menjadi ajang belajar bagi mereka untuk membuat risol yang lebih baik lagi. Menurut mereka sih, kegagalan seperti itu, dibawa enjoy aja dan dicoba lagi dan dicoba lagi.

Dan dari testimoni mereka yang sudah membeli risol, katanya risolnya enak, isi daleman risolnya banyak seperti: sosisnya banyak, daging asapnya banyak, mayonaisnya banyak, pokoknya pembeli suka rasanya dan merekapun makin mantab untuk berjualan risol ini.

Orang-tua mereka juga mendukung kegiatan anak-anaknya ini. Dengan syarat yang hampir mirip dengan kisah di contoh pertama di atas, yaitu pelajaran di sekolahnya harus tidak boleh tertinggal.

Tetap semangat berwirausaha ya Gigin dan teman-temannya

Dua contoh kisah pengalaman adik-adik kita di atas, dalam mencoba berwirausaha sangatlah perlu dihargai, diapresiasi dan didukung sepenuhnya, seperti dukungan yang mereka peroleh dari para orangtuanya.

Apalagi Iwan dan Gigin ini bukan dari latar belakang masak-memasak. Iwan kuliah di Sastra Inggris dan Gigin jurusan Komputer.

Semangat-semangat berwirausaha atau entrepreneurship seperti ini memang perlu dipupuk karena berpotensi menjadi usaha yang besar serta membuka kesempatan kerja bagi orang lain. Bagus dan bermanfaat kan.

Salah satu hal positif lainnya adalah mengurangi mind set menjadi pekerja atau pegawai. Beralih menjadi mind set dapat menyediakan pekerjaan bagi orang lain.

Pemerintah pun, telah banyak menciptakan program-program kewirausahaan, termasuk pengembangan dan pendampingan bagi UMKM hingga start up.

Program terbaru Pemerintah Jokowi diantaranya adalah meningkatkan dukungan pemberdayaan dan akses pasar UMKM ataupun IKM Digital melalui program-program seperti Bangga Buatan Indonesia, e-katalog LKPP dan QRIS.

Berharap Iwan-Iwan dan Gigin-Gigin akan selalu terus lahir dan hadir di tengah-tengah kita.

error: Content is protected !!
Exit mobile version